“Bagaimana masa depanmu nanti?”
Saya takut untuk menjawabnya. Entah mengapa, ketika saya dihadapkan pertanyaan itu, saya jadi merasa takut. Saya membayangkan masa depanku yang agak ‘gelap’, tidak tergambar dengan jelas. Maksudku, adakalahnya seseorang itu mempunyai sebuah gambaran akan sebuah garis kehidupan. Di mana, pencapaian-pencapaian sudah digambarkan –walau pun toh nanti pada akhirnya tidak sesuai.
Masa depan cerah –apakah kamu juga pernah menginginkan itu?– adalah sebuah keadaan yang terbuka peluang lebar untuk meniti karir, atau menunaikan cita-cita yang kamu impikan sejak kecil –tentu saja bukan materi ukurannya. Mengasah kemampuan dalam bidang tertentu, adalah salah satu wujudnya, yang kemudian akan berguna suatu saat nanti.
Saya sudah bekerja. Itu kabar baiknya. Masa depan tentang pekerjaan tentu tidak begitu masalah. Keuangan, untuk sementara waktu, bukanlah sebuah problem besar. Sementara kebutuhan juga tidak begitu banyak.
Kadangkala saya mengimajinasikan sebuah keadaan yang benar-benar buruk: dipecat dari pekerjaan –namun semua itu semoga saja tidak terjadi– dan saya akan kembali ke kampung halaman. Tentu saja, dengan sedikit harapan ada pekerjaan yang layak. Kembali bertani? Itu sebuah kemungkinan yang sedikit jelas, daripada melamar sebuah pekerjaan bagus lain di kota dengan tanpa bekal ijazah. Inilah yang saya maksud sebuah gambaran. Kemungkinan –walau tidak begitu baik.
Masa depan. Sebenarnya dapat kita lihat dari sini –namun tentunya tidak secara matimatis. Namun sebagaimana manusia pada umumnya, kita akan selalu menginginkan tujuan akhir –kalau pun hidup enak adalah tujuan itu.
Saya bukan John Starks yang bisa melihat tentang masa depan. Saya juga bukan tukang ramal yang bisa mengabarkan kebohongan akan masa depan. Namun saya tahu, sekaranglah saat yang menentukan. Yang jadi masalah adalah, kadang, keadaan yang membuat kita tidak berdaya. Keadaan yang membuat diri kita terjepit. Karena otak ini begitu sempit.
Sementara kita berpatok pada hukum: bila jari tangan kita teriris pisau maka akan terasa sakit. bila kita makan di warung maka setelahnya harus bayar.
Jadi persoalannya? Kita tidak pernah gigih untuk sebuah kemajuan bagi masa depan. Kita sendiri, bukan orang lain.
Saya takut untuk menjawabnya. Entah mengapa, ketika saya dihadapkan pertanyaan itu, saya jadi merasa takut. Saya membayangkan masa depanku yang agak ‘gelap’, tidak tergambar dengan jelas. Maksudku, adakalahnya seseorang itu mempunyai sebuah gambaran akan sebuah garis kehidupan. Di mana, pencapaian-pencapaian sudah digambarkan –walau pun toh nanti pada akhirnya tidak sesuai.
Masa depan cerah –apakah kamu juga pernah menginginkan itu?– adalah sebuah keadaan yang terbuka peluang lebar untuk meniti karir, atau menunaikan cita-cita yang kamu impikan sejak kecil –tentu saja bukan materi ukurannya. Mengasah kemampuan dalam bidang tertentu, adalah salah satu wujudnya, yang kemudian akan berguna suatu saat nanti.
Saya sudah bekerja. Itu kabar baiknya. Masa depan tentang pekerjaan tentu tidak begitu masalah. Keuangan, untuk sementara waktu, bukanlah sebuah problem besar. Sementara kebutuhan juga tidak begitu banyak.
Kadangkala saya mengimajinasikan sebuah keadaan yang benar-benar buruk: dipecat dari pekerjaan –namun semua itu semoga saja tidak terjadi– dan saya akan kembali ke kampung halaman. Tentu saja, dengan sedikit harapan ada pekerjaan yang layak. Kembali bertani? Itu sebuah kemungkinan yang sedikit jelas, daripada melamar sebuah pekerjaan bagus lain di kota dengan tanpa bekal ijazah. Inilah yang saya maksud sebuah gambaran. Kemungkinan –walau tidak begitu baik.
Masa depan. Sebenarnya dapat kita lihat dari sini –namun tentunya tidak secara matimatis. Namun sebagaimana manusia pada umumnya, kita akan selalu menginginkan tujuan akhir –kalau pun hidup enak adalah tujuan itu.
Saya bukan John Starks yang bisa melihat tentang masa depan. Saya juga bukan tukang ramal yang bisa mengabarkan kebohongan akan masa depan. Namun saya tahu, sekaranglah saat yang menentukan. Yang jadi masalah adalah, kadang, keadaan yang membuat kita tidak berdaya. Keadaan yang membuat diri kita terjepit. Karena otak ini begitu sempit.
Sementara kita berpatok pada hukum: bila jari tangan kita teriris pisau maka akan terasa sakit. bila kita makan di warung maka setelahnya harus bayar.
Jadi persoalannya? Kita tidak pernah gigih untuk sebuah kemajuan bagi masa depan. Kita sendiri, bukan orang lain.