Ketika kecil dulu, kita ditanya; `kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?' Dan
setelah kita besar, kita menanyakan hal yang sama kepada para anak kecil. Namun
sebenarnya, orang dewasa seperti kita ini pun masih mengajukan pertanyaan itu
kepada diri sendiri. Hanya saja, dia sudah berubah bunyi menjadi; `besok saya
akan menjadi apa?'. Mungkin kita merasa sudah memiliki jawaban itu. Mungkin
juga tidak. Yang jelas, orang-orang yang rajin merenung tidak pernah berhenti
menanyai diri sendiri dengan sejumlah pertanyaan seperti itu. Apakah Anda juga
mengalami hal itu?
Seyogyanya, memang pertanyaan-pertanyaan itu terus hidup dalam diri kita untuk
memastikan bahwa proses pendewasaan diri ini tidak berhenti. Mengapa mesti
begitu? Karena, kita percaya bahwa ciri hidup adalah terus berjalannya proses
pendewasaan diri. Sehingga, kita tidak terburu-buru mengklaim diri sebagai
manusia yang sudah mencapai kedewasaan yang sempurna.
Akan tetapi, kadang-kadang pertanyaan itu lebih beraroma kegundahan daripada
berirama perjalanan menuju kedewasaan. Kita sering merasa gundah dengan masa
depan. Lantas bertanya-tanya; akan menjadi seperti apakah masa depan kita
gerangan? Jika kita seorang karyawan, kita bertanya; "Apa yang akan terjadi
setelah saya memasuki masa pensiun nanti?" Bahkan tak jarang pertanyaan itu
bergegas menjadi;"Apakah saya bisa lolos dari gelombang PHK ini?"
Para pengusaha dan pekerja mandiri pun tidak kurang gundah. Dan mereka
bertanya;"Apakah masih ada peluang bagi usaha saya sepuluh tahun lagi?" Bahkan
tak jarang pertanyaan itu bergegas menjadi; "Apakah bulan depan saya masih akan
mendapatkan order lagi?".
Pendek kata, semakin jauh kita memandang kedepan, semakin samar gambaran yang
bisa kita temukan. Bahkan, dalam situasi yang tidak menentu seperti saat ini;
masa depan yang dekat pun menjadi tidak terlampau jelas terlihat.
Sore itu, layar pesawat televisi saya dirubungi begitu banyak semut. Sehingga,
gambarnya menjadi tidak kelihatan. Setelah channel dan kabelnya diotak-atik pun
semut-semut itu tidak hendak beranjak pergi. Namun, ketika saya melihat keatas
genteng, ternyata posisi antenna TV itu sudah bergeser; hingga arahnya
berlawanan dengan posisi selama ini. Ajaibnya, ketika arah antenna itu
diperbaiki; seketika itu juga para semut elektronik itu kabur menyisakan
tampilan layar kaca yang jelas, jernih, lagi bening.
Saya tercenung sejenak dan bertanya dalam hati; mungkinkah masa depan manusia
juga memiliki sifat sedemikian? Maksud saya, mungkinkah kita bisa melihat masa
depan dengan lebih jernih seperti gambar pada pesawat televisi itu kini?
Antenna itu memberi saya inspirasi bahwa masa depan kita juga bisa menjadi
lebih cerah dan lebih indah seandainya kita bisa memposisikan antenna diri kita
kearah yang tepat. Hari itu, hati saya kembali lega. Karena ternyata; kesuraman
gambaran masa depan ini disebabkan karena kita tidak mengarahkan antenna jiwa
kita kearah yang tepat. Seandainya kita mengarahkan antenna itu kearah yang
seharusnya; mungkin kita bisa terhindar dari gambar samar itu.
Pertanyaannya adalah; perangkat seperti apakah yang bisa kita gunakan untuk
menjadi antenna bagi diri kita? Otak dengan daya pikir yang kita milikikah?
Mungkin. Sebab, selama ini sudah terbukti otak mampu menyelamatkan kita dari
berbagai krisis yang kita hadapi. Otak juga mempunyai kemampuan analisis yang
begitu tinggi sehingga kita bisa memprediksi masa depan. Membuat
rencana-rencana strategis jangka panjang. Dan, mengkalkulasikan resiko-resiko
yang mungkin menghadang selama dalam perjalanan.
Tapi hey, ada banyak bukti sifat destruktif ketika kita terlampau banyak
mengandalkan otak. Hitung-hitungan matematis yang dihasilkannya sering
melupakan aspek kemanusiaan dan keadilan. Bahkan, tak jarang otak menasihatkan
untuk melakukan sesuatu `for whatever it takes ..'. Oleh karena itu, otak tidak
terlampau peduli jika tindakan yang kita lakukan merugikan orang lain. Atau
melanggar aturan. Atau mengesampingkan nilai-nilai kesusilaan. Kalau begitu,
mungkin bukan otak yang bisa menjadi antenna kita.
Lantas apa? Adakah `sesuatu' yang bisa menyeimbangkan kinerja otak dalam diri
kita? Mungkin kita ingat bahwa ketika otak mengatakan sesuatu, hati kita
berkata; "tunggu dulu, itu bukan tindakan yang baik ." Jika demikian,
mungkinkah hati yang bisa menjadi antenna diri kita itu? Yang jelas, kita
mendengar bisikan-bisikan suci melalui telinga batin didalam hati. Bukan dengan
telinga lahir kita. Sebab, sekalipun semua orang disekeliling kita menasihatkan
kebenaran, jika telingan batin kita tertutupi; kita hanya menganggap seruan
akan bebajikan sekedar angin lalu. Yang masuk dari telinga kanan, dan keluar
lagi melalui telinga kiri. Sebaliknya, sekalipun disekeliling kita berseliweran
panggilan-panggilan untuk melakukan beragam kebathilan, namun ketika telinga
batin kita difungsikan; kita masih bisa menemukan bisik suci yang menjaga kita
untuk tidak tergoda.
Jadi, mungkin memang hatilah yang bisa digunakan untuk menjadi antenna diri itu
ya? Sebab, ketika hati kita bisa menangkap gelombang penghiburan yang Tuhan
kirimkan, sekujur tubuh kita kemudian bisa terbebas dari segala kegundahan akan
masa depan. Lalu perasaan batin kita menjadi tenang. Persis seperti yang pernah
dikatakan oleh Sang Utusan; "Wahai para pemilik jiwa yang tenang. Pergilah
engkau keranah kasih sayang Tuhan. Maka jadilah engkau hamba-hamba Tuhan. Dan
masuklah engkau kedalam tempat terbaik yang telah Tuhan janjikan " Semoga.
Catatan Kaki:
Tuhan tidak mungkin mengabaikan orang-orang yang bekerja dengan
bersungguh-sungguh. Sehingga wajar, jika setelah semua upaya terbaik kita
ditunaikan; kita menyerahkan segala urusan kepada Tuhan.
setelah kita besar, kita menanyakan hal yang sama kepada para anak kecil. Namun
sebenarnya, orang dewasa seperti kita ini pun masih mengajukan pertanyaan itu
kepada diri sendiri. Hanya saja, dia sudah berubah bunyi menjadi; `besok saya
akan menjadi apa?'. Mungkin kita merasa sudah memiliki jawaban itu. Mungkin
juga tidak. Yang jelas, orang-orang yang rajin merenung tidak pernah berhenti
menanyai diri sendiri dengan sejumlah pertanyaan seperti itu. Apakah Anda juga
mengalami hal itu?
Seyogyanya, memang pertanyaan-pertanyaan itu terus hidup dalam diri kita untuk
memastikan bahwa proses pendewasaan diri ini tidak berhenti. Mengapa mesti
begitu? Karena, kita percaya bahwa ciri hidup adalah terus berjalannya proses
pendewasaan diri. Sehingga, kita tidak terburu-buru mengklaim diri sebagai
manusia yang sudah mencapai kedewasaan yang sempurna.
Akan tetapi, kadang-kadang pertanyaan itu lebih beraroma kegundahan daripada
berirama perjalanan menuju kedewasaan. Kita sering merasa gundah dengan masa
depan. Lantas bertanya-tanya; akan menjadi seperti apakah masa depan kita
gerangan? Jika kita seorang karyawan, kita bertanya; "Apa yang akan terjadi
setelah saya memasuki masa pensiun nanti?" Bahkan tak jarang pertanyaan itu
bergegas menjadi;"Apakah saya bisa lolos dari gelombang PHK ini?"
Para pengusaha dan pekerja mandiri pun tidak kurang gundah. Dan mereka
bertanya;"Apakah masih ada peluang bagi usaha saya sepuluh tahun lagi?" Bahkan
tak jarang pertanyaan itu bergegas menjadi; "Apakah bulan depan saya masih akan
mendapatkan order lagi?".
Pendek kata, semakin jauh kita memandang kedepan, semakin samar gambaran yang
bisa kita temukan. Bahkan, dalam situasi yang tidak menentu seperti saat ini;
masa depan yang dekat pun menjadi tidak terlampau jelas terlihat.
Sore itu, layar pesawat televisi saya dirubungi begitu banyak semut. Sehingga,
gambarnya menjadi tidak kelihatan. Setelah channel dan kabelnya diotak-atik pun
semut-semut itu tidak hendak beranjak pergi. Namun, ketika saya melihat keatas
genteng, ternyata posisi antenna TV itu sudah bergeser; hingga arahnya
berlawanan dengan posisi selama ini. Ajaibnya, ketika arah antenna itu
diperbaiki; seketika itu juga para semut elektronik itu kabur menyisakan
tampilan layar kaca yang jelas, jernih, lagi bening.
Saya tercenung sejenak dan bertanya dalam hati; mungkinkah masa depan manusia
juga memiliki sifat sedemikian? Maksud saya, mungkinkah kita bisa melihat masa
depan dengan lebih jernih seperti gambar pada pesawat televisi itu kini?
Antenna itu memberi saya inspirasi bahwa masa depan kita juga bisa menjadi
lebih cerah dan lebih indah seandainya kita bisa memposisikan antenna diri kita
kearah yang tepat. Hari itu, hati saya kembali lega. Karena ternyata; kesuraman
gambaran masa depan ini disebabkan karena kita tidak mengarahkan antenna jiwa
kita kearah yang tepat. Seandainya kita mengarahkan antenna itu kearah yang
seharusnya; mungkin kita bisa terhindar dari gambar samar itu.
Pertanyaannya adalah; perangkat seperti apakah yang bisa kita gunakan untuk
menjadi antenna bagi diri kita? Otak dengan daya pikir yang kita milikikah?
Mungkin. Sebab, selama ini sudah terbukti otak mampu menyelamatkan kita dari
berbagai krisis yang kita hadapi. Otak juga mempunyai kemampuan analisis yang
begitu tinggi sehingga kita bisa memprediksi masa depan. Membuat
rencana-rencana strategis jangka panjang. Dan, mengkalkulasikan resiko-resiko
yang mungkin menghadang selama dalam perjalanan.
Tapi hey, ada banyak bukti sifat destruktif ketika kita terlampau banyak
mengandalkan otak. Hitung-hitungan matematis yang dihasilkannya sering
melupakan aspek kemanusiaan dan keadilan. Bahkan, tak jarang otak menasihatkan
untuk melakukan sesuatu `for whatever it takes ..'. Oleh karena itu, otak tidak
terlampau peduli jika tindakan yang kita lakukan merugikan orang lain. Atau
melanggar aturan. Atau mengesampingkan nilai-nilai kesusilaan. Kalau begitu,
mungkin bukan otak yang bisa menjadi antenna kita.
Lantas apa? Adakah `sesuatu' yang bisa menyeimbangkan kinerja otak dalam diri
kita? Mungkin kita ingat bahwa ketika otak mengatakan sesuatu, hati kita
berkata; "tunggu dulu, itu bukan tindakan yang baik ." Jika demikian,
mungkinkah hati yang bisa menjadi antenna diri kita itu? Yang jelas, kita
mendengar bisikan-bisikan suci melalui telinga batin didalam hati. Bukan dengan
telinga lahir kita. Sebab, sekalipun semua orang disekeliling kita menasihatkan
kebenaran, jika telingan batin kita tertutupi; kita hanya menganggap seruan
akan bebajikan sekedar angin lalu. Yang masuk dari telinga kanan, dan keluar
lagi melalui telinga kiri. Sebaliknya, sekalipun disekeliling kita berseliweran
panggilan-panggilan untuk melakukan beragam kebathilan, namun ketika telinga
batin kita difungsikan; kita masih bisa menemukan bisik suci yang menjaga kita
untuk tidak tergoda.
Jadi, mungkin memang hatilah yang bisa digunakan untuk menjadi antenna diri itu
ya? Sebab, ketika hati kita bisa menangkap gelombang penghiburan yang Tuhan
kirimkan, sekujur tubuh kita kemudian bisa terbebas dari segala kegundahan akan
masa depan. Lalu perasaan batin kita menjadi tenang. Persis seperti yang pernah
dikatakan oleh Sang Utusan; "Wahai para pemilik jiwa yang tenang. Pergilah
engkau keranah kasih sayang Tuhan. Maka jadilah engkau hamba-hamba Tuhan. Dan
masuklah engkau kedalam tempat terbaik yang telah Tuhan janjikan " Semoga.
Catatan Kaki:
Tuhan tidak mungkin mengabaikan orang-orang yang bekerja dengan
bersungguh-sungguh. Sehingga wajar, jika setelah semua upaya terbaik kita
ditunaikan; kita menyerahkan segala urusan kepada Tuhan.